Wednesday, February 18, 2009

“Did I marry the right person?”

Cerita di bawah ini sangat bagus, bagi yang masih single maupun yang sudah menikah. Bagi mereka yang masih single bisa mengambil pelajaran dari cerita ini, dan bagi yang sudah menikah cerita ini bisa jadi guideline untuk meningkatkan ikatan pernikahan yang udah dijalani.

“Apakah saya menikah dengan orang yang tepat?”
Dalam sebuah seminar rumah tangga, seseorang audience tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang sangat lumrah, “Bagaimana saya tahu kalo saya menikah dengan orang yang tepat?” Saya melihat ada seorang lelaki bertubuh besar duduk di sebelahnya jadi saya menjawab “Ya..tergantung. Apakah pria disebelah anda itu suami anda?”

Dengan sangat serius dia balik bertanya “Bagaimana anda tahu?!”, “Biarkan saya jawab pertanyaan yang sangat membebani ini.”

Inilah jawabannya…

SETIAP ikatan memiliki siklus.Pada saat-saat awal sebuah hubungan, anda merasakan jatuh cinta dengan pasangan anda. Telpon darinya selalu ditunggu-tunggu, begitu merindukan belaian sayangnya, dan begitu menyukai perubahan sikap-sikapnya yang bersemangat begitu menyenangkan.

Jatuh cinta kepada pasangan bukanlah hal yang sulit. Jatuh cinta merupakan hal yang sangat alami dan pengalaman yang begitu spontan. Nggak perlu berbuat apapun .. Makanya dikatakan “jatuh” cinta…

Orang yang sedang kasmaran kadang mengatakan “aku mabuk cinta”. Bayangkan ekspresi tersebut! Seakan-akan anda sedang berdiri tanpa melakukan apapun lalu tiba-tiba sesuatu datang dan terjadi begitu saja pada anda. Jatuh cinta itu mudah. Sesuatu yang pasif dan spontan. Tapi…setelah beberapa tahun perkawinan, gempita cinta itu pun akan pudar. Perubahan ini merupakan siklus alamiah dan terjadi pada SEMUA ikatan. Perlahan tapi pasti .. telpon darinya menjadi hal yang merepotkan, belaiannya nggak selalu diharapkan dan sikap-sikapnya yang besemangat bukannya jadi hal yang manis tapi malah nambahin penat yang ada.

Gejala-gejala pada tahapan ini bervariasi pada masing-masing individu. Namun bila anda memikirkan tentang rumah tangga anda, anda akan mendapati perbedaaan yang dramatis antara tahap awal ikatan, pada saat anda jatuh cinta, dengan kepenatan-kepenatan bahkan kemarahan pada tahapan-tahapan selanjutnya.

Dan pada situasi inilah pertanyaan “Did I marry the right person?” mulai muncul, baik dari anda atau dari pasangan anda, atau dari keduanya.. Nah Lho!

Dan ketika anda maupun pasangan anda mencoba merefleksikan eforia cinta yang pernah terjadi, anda mungkin mulai berhasrat menyelami eforia-eforia cinta itu dengan orang lain. Dan ketika pernikahan itu akhirnya kanda. Masing-masing sibuk menyalahkan pasangannya atas ketidakbahagiaan itu dan mencari pelampiasan di luar. Berbagai macam cara, bentuk dan ukuran untuk pelampiasan ini, menginkari kesetiaan merupakan hal yang paling jelas. Sebagian orang memilih untuk menyibukan diri dengan pekerjaannya, hobinya, pertemanannya, nonton TV hingga merasa bosan, ataupun hal-hal yang menyolok lainnya.

Tapi tahu tidak?! Bahwa jawaban atas dilema ini tidak ada di luar, justru jawaban ini hanya ada di dalam pernikahan itu sendiri. Mencari pelarian?? Silahkan. Anda bisa! Bisa saja ataupun boleh saja anda mencari pelarian. Mungkin pada saat itu anda akan merasa lebih baik. Tapi itu bersifat temporer, karena setelah beberapa tahun anda akan mengalami kondisi yang sama (seperti sebelumnya pada perkawinan anda).

Karena (pahamilah dengan seksama hal ini)
KUNCI SUKSES PERNIKAHAN BUKANLAH MENEMUKAN ORANG YANG TEPAT, NAMUN KUNCINYA ADALAH BAGAIMANA BELAJAR MENCINTAI ORANG YANG ANDA TEMUKAN, DAN TERUS MENERUS..!

Cinta bukanlah hal yang PASIF ataupun pengalaman yang spontan. Cinta TIDAK AKAN PERNAH begitu saja terjadi. Kita tidak akan bisa MENEMUKAN cinta yang selamanya, tapi kita harus MENGUSAHAKANNYA dari hari ke hari.

Benar juga ungkapan “diperbudak cinta” Karena cinta itu BUTUH waktu, usaha, dan energi. Dan yang paling penting, cinta itu butuh sikap BIJAK. Kita harus tahu benar APA YANG HARUS DILAKUKAN agar rumah tangga berjalan dengan baik. Jangan membuat kesalahan untuk hal yang satu ini. Cinta bukanlah MISTERI.

Ada beberapa hal spesifik yang bisa dilakukan (dengan ataupun tanpa pasangan anda) agar rumah tangga berjalan lancar. Sama halnya dengan hukum alam pada ilmu fĂ­sika (seperti gaya Gravitasi), dalam suatu ikatan rumah tangga juga ada hukumnya. Sama halnya dengan diet yang tepat dan olahraga yang benar dapat membuat tubuh kita lebih kuat.
Beberapa kebiasaan dalam hubungan rumah tangga juga DAPAT membuat rumah tangga itu lebih kuat. Ini merupakan reaksi sebab akibat. Jika kita tahu dan mau menerapkan hukum - hukum tersebut, tentulah kita bisa “MEMBUAT” cinta bukan “JATUH”. Karena cinta dalam pernikahan sesungguhnya merupakan sebuah DECISION, dan bukan cuma PERASAAN…!

“Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai TETAPI untuk belajar mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna”

Tuesday, February 17, 2009

Jejak Sepatu di Karpet

Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih dan bersih dan teratur, suami serta anak2nya sangat menghargai pengabdiannya itu.

Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.

Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:

'Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan'

Ibu itu kemudian menutup matanya.

'Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?' Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.

Virginia Satir melanjutkan; 'Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi'.

Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.

'Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu meli hat jejak sepatu & kotoran disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu'.

Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.

'Sekarang bukalah mata ibu' Ibu itu membuka matanya 'Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?' Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. 'Aku tahu maksud anda' ujar sang ibu, 'Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif'.

Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.

Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya..

Semoga dgn kisah tsb di atas, kita dapat lebih bijaksana dan selalu bersyukur dgn apa yg telah diberikanNya. Dan selalu mencoba melihat dr sisi yg lebih POSITIVE.

Sukses buat kita semua!

Wednesday, February 11, 2009

Social Experiment - Tak sadar dg lingkungan sekitar‏

Social Experiment

A man sat at a Metro station in Washington DC and started to play the
violin; it was a cold January morning. He played six Bach pieces for
about 45 minutes. During that time, since

it was rush hour, it was calculated that thousands of people went
through the station, most of them on their way to work.

Three minutes went by and a middle-aged man noticed there was a musician
playing. He slowed his pace and stopped for a few seconds and then
hurried up to meet his schedule.

A minute later, the violinist received his first dollar tip: a woman
threw the money in the till and

without stopping continued to walk.

A few minutes later, someone leaned against the wall to listen to him,
but the man looked at his

watch and started to walk again. Clearly he was late for work.

The one who paid the most attention was a 3 year old boy. His mother
tagged him along, hurried

but the kid stopped to look at the violinist. Finally the mother pushed
hard and the child continued to walk turning his head all the time. This
action was repeated by several other children. All the

parents, without exception, forced them to move on.

In the 45 minutes the musician played, only 6 people stopped and stayed
for a while. About 20 gave him money but continued to walk their normal
pace. He collected $32. When he finished playing and silence took over,
no one noticed it. No one applauded, nor was there any recognition.

No one knew this but the violinist was Joshua Bell, one of the most
famous musicians in the world. He played one of the most intricate
pieces ever written with a violin worth $3.5 million.

Two days before his playing in the subway, Joshua Bell sold out at a
theater in Boston and the seats average $100 each.

This is a real story. Joshua Bell playing incognito in the metro station
was organized by the Washington Post as part of a social experiment
about perception, taste and priorities of people. The outlines were: in
a commonplace environment at an inappropriate hour: Do we perceive
beauty? Do we stop to appreciate it? Do we recognize the talent in an
unexpected context?

One of the possible conclusions from this experience could be: if we do
not have a moment to stop and listen to one of the best musicians in the
world playing some of the best music ever written, how many other things
are we missing?